Selamat Datang

Welcome Selamat Datang Wilujeng Sumping Ahlan wa Sahlan

Selasa, 13 September 2016

Ketika Lantunan Alquran dan Dentuman Bom Saling Bersahutan…


Tak ada hari yang begitu cerah di Kota Aleppo, kecuali hari Jumat (27/12/2013) ketika langit biru menghampar luas sejauh mata beredar. Masih dalam musim dingin yang mencubit kulit, jalanan Aleppo begitu lengang, melompong. “Hari ini adalah hari libur,” kata Abu Ridho, seorang relawan asal Suriah yang mengantarkan kami. Jumat, adalah hari libur di Kota Aleppo, dan Jumat ini begitu istimewa, karena langit begitu cerah.

“Jangan keluar dulu, langit sangat cerah,” katanya sembari membuka sedikit gorden di luar. “..Bum..Bum..” gelegar bom-bom itu masih menggelegar, sejak kaki ini menjejak di Bumi Syam kali pertama di sebuah sekolah di Kota Aleppo kemarin, kami sudah disambut oleh Bom yang dikirim oleh Tentara Asad.
Aleppo, ialah sebuah kota indah nan jauh di sana, di masa silam, ketika Mesjid Umawi itu pun berdiri tegap di sana. Aleppo, ialah sebuah kota impian, ketika taman-taman dan air-air mancur itu bertebaran di sudut-sudut kota. Aleppo, kota pemerintahan Umayyah masa silam, yang menyimpan berjuta kenangan. Aleppo, ialah sebuah kota impian di masa silam, kota besar setelah Damaskus di Bumi Para Nabi, Syam. Tapi kini, cahaya malam, keindahan kota tak ada lagi di sana. Gelap pekat menemani perjalanan mata, ketika sniper-sniper rezim Assad itu siap menarik pelatuk dari kejauhan, di atas lampu kuning di sudut sebuah menara. Kota yang bercahaya itu, kian gelap gulita. Tak ada lagi gemerlap kota, pun hanya untuk secuil sinyal, tidak kami dapati.

Taman-taman itu, kini berserak bercampur puing-puing ledakan yang bertebaran. Aleppo, ialah puing bangunan berserakan, saksi kebengisan sebuah rezim. Aleppo ialah tumpukan sampah-sampah disepanjang jalan, sangat berbeda ketika membayangkan Aleppo di masa silam, ketika Umar Ibn Al Khattab menaunginya dalam damai. Aleppo, ialah sebuah kota, dengan penuh harapan, akan sebuah perdamaian, ketika adzan Jumat berkumandang menggantung di langit biru Aleppo.

Semua bangunan hancur, rusak, binasa… tiada lagi tempat aman bagi rakyat Suriah
Jumat biru itu, kumandang Adzan syahdu membelah langit Aleppo, bersahutan dengan bom-bom yang menggelegar. Sesaat sebelum adzan, kami baru bisa keluar menuju Mesjid. Dalam cerah, pesawat-pesawat itu begitu tinggi, memuntahkan bom kapan saja, di mana saja. “Bum..Bum..” ledakan besar, mengawali sang Imam muda itu berkhutbah, tentang harapan perdamaian, kemenangan atas masyarakat. Doa itu begitu syahdu, terlafal dari sang Imam mengawali khutbah.
“Jika kamu menolong Allah, maka Allah akan menolongmu,” kata sang khatib di atas mimbar, yang berada ditempat khusus imam pada lantai dua. Hujan bom masih bersahutan di luar sana. Sang Khatib, dengan tenang melanjutkan pesan-pesannya. Semua serius menyimak. Hujan bom, mungkin sudah menjadi kebiasaan. Shalat Jum’at berjalan dengan khidmat.
Ketika Khatib mengangkat telunjuknya, berdoa begitu fasih. Ketika makmum pun mengangkat jari telunjuknya, tak berteriak kencang Amin, namun begitu meyakini doa-doa sang Imam. “…Bumm!..” suara gelegar yang kerap terdengar, tak mampu membuyarkan kekhusyuan Jama’ah shalat. Bahwa bisa saja bom tiba-tiba menghujam di dalam Mesjid, seperti laiknya beberapa saat silam, di Hadapan Makam Nabi Zakariya itu, di Mesjid Umawi, ratusan orang menjadi korban serangan udara Rezim Bashar.
Jumat itu, semua jamaah memasrahkan diri menghadap RabbNya. Bermunajat dan berdoa untuk kemenangan atas perjuangan mereka. Suara merdu dan tartil imam, mengawal shalat yang begitu syahdu dalam dingin. Suhu dingin yang semakin menusuk tulang, membuat badan semakin rapat. Bom di luar sana, tak mengurangi kekhusyukan Imam membaca sebuah surat Al Baqarah dengan Tartlil, hingga sampai ayat;
“Apakah kamu mengira bahwa kamu kan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga rasul dan orang-orang yang beriman bersamananya berkata, “Kapankah datang pertolongan Allah?” (Al Baqarah: 214)
Ayat yang begitu menghujam. Sungguh, itulah yang mereka katakan setiap harinya, ketika cobaan berat itu datang melanda. Ketika bom itu dijatuhkan, melukai sang bocah yang hendak berangkat ke sekolah. Dalam rintihan sakit, ia bertahan. Ketika kucing-kucing lucu itu menjadi santapan mereka, karena tak ada lagi yang hendak mereka makan.
Ketika kaki bocah-bocah itu menahan dingin, tak ada sepatu baru untuk pergi ke sekolah. Ketika guru-guru mereka tak lagi masuk, karena telah tiada. Ketika salju-salju itu bertumpuk di atas tenda, membuat gigi bergetar hebat, menahan dingin. “Apakah kamu mengira bahwa kamu kan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang sebelum kamu.”
Lembutnya Imam membaca surat Al Baqarah. Isak tangis sedikit terdengar. Bulir-bulir bening ini berkumpul di sudut mata. “Kapankah datang pertolongan Allah?” dengan merdu sang Imam melanjutkan, “Ingatlah Pertologan Allah itu dekat”
Sebuah janji yang meneguhkan, bahwa masa kemenangan itu semakin dekat. Sungguh beruntung ketika ujian itu datang, dan keluar perkataan “Kapankah datang pertolongan Allah..” Ketika bulir-bulir bening itu menetes membasahi sajadah di sudut Aleppo.
Dalam haru, jamaah larut semakin dalam dalam syahdu bacaan imam melanjutkan bacaanya. “Harta apa saja yang kamu infakkan hendaknya diperuntukkan bagi kedua orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin, dan orang dalam perjalanan..” (Al Baqarah 215)
“..Bum…Bum..” dalam syahdu, kalam ilahi itu bersahutan dengan gelegar bom di langit Aleppo. Bahwa syukur terlafal, atas kenikmatan yang diberikan atas kondisi hidup di bumi Nusantara. Dalam syahdu, imam melanjutkan kalam sucinya, menutup shalat Jumat dalam langit biru Aleppo.
“..Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagmu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu , padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui..” ( Al Baqarah 216)
Kalam ilahi itu terus terngiang-ngiang, dalam syahdunya bacaan imam. Suara Al Quran dan ledakan itu bersahutan di langit Biru Aleppo. Aleppo, kini ada dalam rindu berabad silam, ketika kalam-kalam suci itu menggema, terlafal. Berabad silam, ketika para nabi menjejakkan kakinya di sana. Suatu saat, masa itu akan kembali. (ashar/rizki, alhikmah.co)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar