Untuk ke-sekian-kalinya kita bahas hal seputar sanad. Latar belakangnya karena akhir-akhir ini lagi ramai diperbincangkan sanad. Rupanya awal mulanya karena ada ungkapan yang kurang lebih, "tak layak merujuk persoalan Islam kepada yang tidak memiliki sanad ilmu". Seakan hanya orang yang memiliki sanad ilmulah yang punya otoritas untuk bicara Islam.
.
Di pihak lain, yang tidak terlalu memperhatikan sanad, ada yang melakukan pembelaan diri terkait dengan posisi sanad. Dengan anggapan bahwa bisa jadi orang yang tak bersanad lebih faqih. Bahkan ada yang mengatakan (dengan mengutip hadits yang tidak relevan) bahwa umat akhir zaman yang memahami Islam tanpa sanad ilmu, keimanannya lebih dahsyat.
.
Suasana terasa menjadi tidak kondusif. Oleh sebagian pihak, sanad ilmu diposisikan sangat sakral bahkan dijadikan senjata untuk menjatuhkan lawan diskusi atau untuk mendiskreditkan seorang tokoh yang selama ini banyak dirujuk. Pada pihak lain, ada upaya desakralisasi sanad, "bersanad kok pemikirannya liberal".
.
Kami bermaksud mendudukannya secara seimbang, agar tidak salah kaprah dalam memahami sanad ilmu baik riwayatan maupun dirayatan.
.
Pertama, sanad ilmu itu sangat penting. Bahkan Abdullah bin Mubarak sebagaimana dikutip dalam Muqaddimah Shahih Muslim mengatakan, "sanad adalah bagian dari agama, seandainya tidak ada sanad, maka orang bicara semaunya". Pesan pentingnya adalah agar ilmiah dalam penukilan. Hadits palsu juga diseleksi dengan kajian sanad. Sanad juga yang mampu menjaga kemurnian ajaran Islam dari berbagai penyimpangan. Sufyan ats-Tsauri sebagaimana dikutip oleh Al Khatib mengatakan, "sanad adalah senjata orang mukmin, jika tidak memiliki senjata, lantas dengan apa dia berperang?".
.
Kedua, bukan hanya dalam tradisi penukilan riwayat, sanad juga bukti bahwa seseorang mendapatkan ilmu dari gurunya, mengkaji dirayah, bukan belajar dan mencari sendiri.
.
Ketiga, belajar bersanad maksudnya belajar dari guru ke guru, baik itu mempelajari matannya maupun maksud yang terkandung di dalamnya. Kadang sanad itu muttashil (tersambung), kadang juga munqathi' (terputus), karena beberapa alasan. Contohnya seorang ulama dikatakan ilmunya bersanad karena dia belajar ilmu dari guru, bukan otodidak. Dia hafal dan tahu gurunya, tapi saat ditanya guru setelah gurunya dia tidak tahu karena kurang perhatian kepada penulisan sanad itu. Kasus ini banyak sekali. Ketika ia talaqqi dalam majelis halqah dan mulazamah dengan gurunya, itulah esensi belajar bersanad.
.
Keempat, tetapi dengan belajar bersanad, tidak bisa dikatakan bahwa orangnya paling berilmu dan selainnya adalah orang bodoh. Karena sanad tidak mencerminkan kapasitas dan martabat ilmu seseorang.
.
Kelima, dengan sanad, tidak bisa dikatakan bahwa orangnya memiliki manhaj paling kokoh, dan selainnya adalah orang-orang yang rapuh. Karena sanad bukanlah satu-satunya timbangan untuk menunjukkan kokohnya manhaj, meski itu yang sangat pokok.
.
Keenam, dengan sanad, tidak bisa dikatakan dialah mukmin sejati dan yang lain mukmin setengah jadi yang tak pantas bicara Islam.
.
Ketujuh, dengan sanad, tidak bisa dikatakan bahwa dia adalah orang yang berakhlak mulia, dan selainnya adalah orang-orang yang buruk akhlak dan adabnya. Karena sanad justru adalah ikhtiar mempercantik akhlak dan adab seseorang.
.
Kedelapan, dengan sanad, tidak berarti menghentikan perjalanan menuntut ilmu. Apalagi hanya sanad riwayah. Namun ia adalah awal perjalanan untuk memasuki samudera ilmu lebih dalam lagi.
.
Kesembilan, dalam sanad ada keberkahan, keridhaan dan izin dari guru, tuntunan adab, dan legalitas untuk menyampaikan kembali.
.
Kesepuluh, memang benar bahwa bisa jadi yang mengkaji belakangan lebih paham dari pada yang meriwayatkan. Dalam Hadits Nabi juga disampaikan demikian, bisa jadi orang yang menyampaikan tidak lebih tahu dari yang menerima.
.
Kesebelas, sanad ilmu bukanlah proses duplikasi, sehingga pandangan murid 100 persen sama dengan gurunya. Bisa sama, bisa jadi ada yang berbeda, dan dalam beberapa kasus bisa betolak belakang. Itu bisa terjadi pada orang yang talaqqi dan mulazamah, apalagi yang hanya sanad riwayah.
.
Itulah hal ihwal seputar sanad dalam takaran yang (menurut saya) seimbang. Jadi belajar dengan bersanad (berguru) amatlah penting, maka jangan menyepelekannya. Tetapi keliru jika sanad dijadikan senjata untuk menjatuhkan pihak lain yg dianggapnya tidak memiliki sanad ilmu. Boleh jadi dia hanya sanad meriwayatkan dan yang menerima justru lebih paham.
.
Terakhir, sanad ilmu sebagai sebuah urf (konvensi) dalam belajar adalah ikhtiar agar mendapatkan ilmu dengan cara yang benar, penukilan yang ilmiah, izin dan keridhaan guru, tertatanya adab, dan teraihnya keberkahan.
.
Artinya, kalau ada yang mengaku punya sanad ilmu muttashil hingga Rasulullah, tetapi menyelisihi aqwal deretan ulama besar sebagaimana termaktub dalam sanadnya, adabnya buruk, keberpihakannya bukan pada Islam dan umatnya, menghalangi tegaknya syariat Allah, mendiskreditkan walau hanya sebagian ajaran Islam, bertolerasi dengan kekufuran, atau membela mati-matian paham sekularisme-pluralisme-liberalisme (paham yang sudah difatwakan haram oleh MUI), saya jadi bertanya: jangan-jangan belajarnya tidak benar? Atau pada awalnya belajarnya benar, tapi kemudian silau dengan gemerlapnya peradaban barat? Sanad ilmu akhirnya jadi topeng. Ya sudahlah. Hanya bisa menarik nafas panjang.
.
Yuana Ryan Tresna
Pengasuh Majelis Kajian Hadits Khadimus Sunnah Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar